dc.description.abstract |
Dalam mengungkapkan kejahatan dibutuhkan bukti/alat bukti sebagai dasar pembentuk keyakinan penegak hukum bahwa memang telah terjadi kejahatan dan dicurigai bahwa ada seseorang tertentu yang melakukannya. Bukti/alat bukti ini dikumpulkan, diinventarisir, dan dirujuk sejak pertama kali penegak hukum akan menetapkan seseorang sebagai tersangka. Bukti dan alat bukti mengalami fase penafsiran. Ketika penyidik hendak menetapkan seseorang menjadi tersangka, misalnya, bukti dan alat bukti sebagai dasar penetapan tersangka disebutkan sebagai bukti permulaan atau bukti yang cukup. Kedua hal tersebut ditafsirkan sebagai satu alat bukti ditambah laporan polisi. Penentuan semacam ini menjadi problematik karena penetapan tersangka terdengar menjadi sangat mudah. Lantas muncullah Putusan No. 21/PUU-XII/2014, yang memberi penafsiran bahwa ‘bukti yang cukup’ atau ‘bukti permulaan yang cukup’ ditafsirkan menjadi semata-mata konstitusional jika diartikan sebagai minimal dua alat bukti. Jenis-jenis alat bukti itu dapat ditemukan pada Pasal 184 KUHAP. Dengan kata lain, jika ada dua dari sejumlah alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP tersebut,maka itu sudah dikategorikan bukti yang cukup. Yang menjadi persoalan, bukti yang cukup dalam bingkai kuantitas seperti ini menyisakan celah yang menarik untuk diteliti, celah mengenai kualitas alat bukti yang seharusnya juga dicari, dipertimbangkan, dan diuji oleh penegak hukum. Maka, apa yang disebut alat bukti yang kualitatif itu akan diulas dengan perbandingan terhadap sistem hukum Belanda dan Amerika Serikat. |
en_US |