dc.description.abstract |
Pemberontakan di Thailand selatan adalah konflik antara masyarakat Malay-Musilm dan pemerintahan Thailand yang berpusat pada identitas, etnis, dan nasionalitas yang selama lebih dari 10 tahun tak dapat diselesaikan. Pemerintahan Thailland belum dapat menyelesaikan pemberontakan dikarenakan ketidakstabilan politik dalam pemerintahan dan kebijakan yang tidak tepat hanya menambah perlawanan dengan kasus kekerasan. Tetapi memasuki pemerintahan baru dibawah Prayuth Chan O-cha di 2014, pemberontakan Thailand selatan menujukan penuruan jumlah kasus kekerasan pada periode 2014-2018 yang jelas. Dalam periode ini pemerintahan Thailand menerapkan kebijakan yang berfokus pada pembangunan ekonomi, keamanan, dan pendekatan politik yaitu pemberlakuan dialog perdamaian yang difasilitasi oleh Malysia. Penelitian ini menggunakn analisa kualitatif yang berfokuskan pada konsep societal security dan theory insecurity dilemma yang bertujuan untuk mengeksplorasi kebijakan Thailand seiring penurunan kasus kekerasan. Penelitian ini menyatakan bahwa penurunan kejadian kekerasan berjalan seimbang dialog perdamaian yang diikuti oleh kebijakan keamanan dan social ekonomi yang menunjang tahap confidence building. Dimana pmerintah dan kelompok pemberontak mencapai pembahasan kerangka zona keamaan di 2018. Hal ini didukung dengan angka penurunan kasus kekerasan berkaitan dengan pemberontakan berubah dari jumlah kasus yang mencapai 1,593 kasus pada 2013, dan 1,354 pada 2014, hingga mencapai 588 kasus pada 2017 dan 544 pada 2018. Walaupun demikian dialog perdamaian, yang merupakan salah satu fokus kebijakan, belum dapat menghasilakan hasil yang optimal dalam pembahasan perdamaian dikarenakan komunikasi yang tidak baik antara kelompok-kelompok pemberontak dan ketidak sinergian militer Thailand dengan hasil pembicaraan. Penyelesaian pemberontakan Thailand Selatan masih memerlukan komitmen yang kuat antara pemerintah dan kelompok pemberontak terlebih dalam menjalankan hasil dialog perdamaian. |
en_US |