Abstract:
Penetapan tersangka tidak semata persoalan berubahnya status dari warganegara biasa menjadi subyek yang dicurigai telah melakukan tindak pidana.Ada persoalan lain yang sangat penting yakni penetapan tersangka niscaya akandiikuti oleh pengenaan upaya paksa: penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan, dan lainnya. Dari sekian upaya paksa, penahanan menjadi problematik karena upaya paksa ini akan mencabut hak asasi seseorang untuk hidup bebas. Skripsi ini memang tidak bertujuan untuk meneliti upaya paksa mana yang paling berdampak bagi kerugian hak asasi, namun lebih untuk melihat penahanan sebagai upaya paksa yang punya dampak serius bagi kebebasan seseorang mustilah dikenakan secara proporsional. Proporsionalitas di sini ialah menyangkut apakah penahanan memiliki urgensi untuk dikenakan, apakah syarat penahanan khususnya syarat subyektif telah diterapkan dengan penuh pertimbangan, atau jika memang alat bukti telah lengkap (minimal dua alat bukti yakni dihasilkan dari penyidikan) masihkah memerlukan penahanan lebih lanjut untuk proses penuntutan dan pengadilan. Untuk menilai proporsionalitas, dalam tulisan ini akan dicari lebih dulu ratio-legis dari penahanan pada sejumah aturan, misalnya pada penyidikan, penyidik kepolisian berwenang mengenakan penahanan untuk waktu 20 hari dan dapat diperpanjang 40 hari. Yang menjadi persoalan, ketika melakukan penyidikan dan penyidik berhasil menetapkan orang sebagai tersangka bukankah harus berdasarkan dua alat bukti? Di sisi lain, dua alat bukti juga lah yang memberi legitimasi bagi pengadilan untuk menjatuhkan putusan. Lalu, apa sebenarnya pertimbangan legis untuk perpanjangan penahanan jika yang lebih urgen adalah mempersingkatnya sedemikian rupa? Pada tulisan ini syarat subyektif penahanan juga akan diuji dengan kasus-kasus nyata, untuk melihat potensi terjadinya hal-hal yang dikuatirkan dalam syarat subyektif pada kasus-kasus yang diteliti.