Abstract:
Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) pada 15 Agustus 2005, mengakhiri konflik vertikal yang sudah berlangsung sekitar 29 tahun. Di antara sekian banyak poin perjanjian, MoU Helsinki mencakup pembahasan terkait Isu HAM selama konflik dengan mengamanatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM untuk Aceh. Hal ini bertujan untuk memastikan pelanggaran hak asasi manusia di masa konflik diselesaikan dengan keadilan, sebuah proses yang dikenal sebagai 'keadilan transisional'. Namun, KKR Aceh baru dibentuk tahun 2016, sedangkan Pengadilan HAM belum juga terbentuk. Menggunakan dasar pemahaman 'Perdamaian Positif' (Positive Peace) dari Johan Galtung dalam memahami makna 'perdamaian', skripsi ini menganalisis perkembangan keadilan transisi di Aceh selama pemerintahan Jokowi dengan menggunakan teori ‘Kepatuhan Keadilan Transisi' (Transitional Justice Compliance) karya Jelena Subotíc. Analisis dilakukan dengan metode kualitatif menggunakan data dari berbagai sumber terutama laporan lembaga HAM, buku, jurnal, artikel dari website, dan berita. Skripsi ini menemukan bahwa dukungan pemerintahan Jokowi terhadap KKR Aceh masih jauh dari cukup. Pemerintah Indonesia tidak memperlihatkan dukungan dalam segi pendanaan terhadap KKR Aceh. Selain itu, budaya impunitas di Indonesia masih dianggap sebagai isu yang menghambat proses pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu. Selain itu, dukungan Pemerintah Aceh terhadap pemaksimalan kinerja KKR Aceh dinilai kurang memuaskan.